Skip to main content


Selamat pagi, sayang.

Kali ini aku menyapamu dalam diam. Di hitungan tanggal tiga belas ini, kita justru berjarak untuk semakin mendekat. Adalah lucu bagiku ketika justru aku merasa lebih rapuh jika tergores kata-katamu. Dan aku lebih memilih untuk diam. Tak ingin rasanya meledak-ledak, atau menggerutu. Aku hanya ingin diam. 

Ini proses kita, sayang. Mungkin, para penulis novel roman picisan itu tidak sebenar-benarnya pernah mencinta. Mereka hanya menggambarkan manisnya cinta, indahnya cinta, pucuk mawar yang punya pesona merona. Atau justru mereka mengemas seolah semua tampak sempurna. Tanpa perlu menunjukkan debat dan tengkar.

Namun aku bangga kita punya semua itu, sayang. Kita selalu tertawa untuk hal-hal bodoh, kita marah pada hal-hal tak tercerna akal, kita diam pada saat tak ingin segalanya tambah kacau. 

Perjalanan ini tak mudah untukku sayang. Begitupun dengan dirimu pastinya. Namun kita nikmati saja. Tak ada batu yang begitu saja terletak dan terbangun menjadi pondasi. Seseorang mesti berpeluh, bersandar, menjauh untuk melihat memastikan bangunan sudah sesuai rancangan, lalu kembali mendekat untuk melanjutkan; membangun sebuah rumah impian. Sebuah tempat setelah seharian lelah berkutat dengan kehidupan, sebuah tempat tujuan akhir dan persiapan untuk memulai. Sebuah tempat yang sejauh apapun kita pergi, kita akan selalu kembali untuk pulang.

Jika mengikuti hitungan angka, ini pagi bersejarah kita yang ke 17, sayang. Aku masih ingin mengenalimu lebih jauh lagi, lebih baik lagi. Karena dengan itu, akupun menjadi belajar untuk semakin mengenali diriku sendiri. 

Selamat tanggal tiga belas :)

Comments

Popular posts from this blog

Dari Nona ke Nyonya

atau dari karyawati menjadi ibu rumah tangga. Keduanya sama-sama butuh proses, sama-sama butuh banyak belajar. Sama-sama butuh ilmu ikhlas. Pernah denger ada temen yang bilang 'pengorbanan lo buat Byan itu luar biasa' Kucuman bisa bilang alhamdulillah. Sambil senyum dikit. Walaupun ada sebagian diri yang sesak. Rasanya pengorbanan itu terkesan ada pihak lain yang merasa tersiksa (haha!) while gw sangat menikmati perjalanan ini. Let me tell you a short (not sure) story then.. Pas jaman-jaman kecil itu, keluarga gw bisa dibilang hidup berkecukupan. Dalam artian, pas mau makan, berasnya ada. Cukup. Ngga berlebih. Walaupun lauknya kadang indomie, somay abang-abang lewat, sop, atau bakso (abang-abang lewat juga). Papihe kala itu punya dompet isinya kartu nama, ktp, sama fotonya Mbak Kakung dan Mbah Putri. Jarang banget gw liat ada duit disana. Yang belakangan gw tau kalo semua gajinya ya udah dikasih ke Ibu. Plus potongan cicilan rumah. Jarak rumah ke kantor kurang le...

ini lagi kesel ceritanya.

Sepertinya memang harus diakhiri. Apa hayo? Segala sesuatu tentang masa lalu. Oke, ini kata pengantar untuk tulisan saya kali ini: Terakhir kali saya punya hubungan dengan seseorang adalah sekitar 2 taun lebih yang lalu. Di bulan Januari ini, which is sudah masuk ke 2 tahun lebih ini ya, saya udah ngga kepengaruh apa-apa lagi soal si orang itu, berikut apapun tentang hidupnya. Dan saya rasa saya udah ada di tahap itu, melupakan. eh ngga melupakan sih, lebih tepatnya merelakan dan menganggap bahwa oke, itu adalah masa lalu. Sialnya, saya hampir percaya sama diri saya sendiri kalo saya udah ngga bakalan kepengaruh apa-apa. Sampe semalem, ada sesuatu yang bikin saya tiba-tiba ngerasain sesuatu yang ngga enak banget rasanya. Gabungan antara sebel, marah, kesel, dan ya, sedikit cemburu. Saya juga heran deh. Kenapa ya saya harus masuk ke dalem kategori manusia yang susah lepas dari masa lalu. Maksutnya, ini udah lebih dari 2 taun lho cuuul. Saya ngerti banget ngga akan pernah bisa dan sayan...
 I never thought that loving someone could be this painful.  Diam ketika semestinya bisa berteriak.  Menangis dalam diam ketika semestinya bisa menggerung.  Tetap ada disana ketika semestinya bisa berpaling dan menjauh.  Bukan pisau yang melukai, justru bentakan yang meluluh lantakkan.  Memutuskan untuk tetap bertahan dan seolah tak perduli ternyata bisa sebegitu menggerus hati.  Membuat tangis tak lagi hanya berupa air mata.  Dan bodohnya adalah keinginan itu tetap ada.  Untuk diam-diam mendoakan. Menyisihkan sebagian jerih payah untuk mewujudkan suatu keinginan.  Bukankah itu yang dinamakan mencintai? Bukankah mencintai dan melihat yang dicinta bahagia adalah tujuannya?