Selamat pagi, sayang.
Kali ini aku menyapamu dalam diam. Di hitungan tanggal tiga
belas ini, kita justru berjarak untuk semakin mendekat. Adalah lucu bagiku
ketika justru aku merasa lebih rapuh jika tergores kata-katamu. Dan aku lebih
memilih untuk diam. Tak ingin rasanya meledak-ledak, atau menggerutu. Aku hanya
ingin diam.
Ini proses kita, sayang. Mungkin, para penulis novel roman
picisan itu tidak sebenar-benarnya pernah mencinta. Mereka hanya menggambarkan
manisnya cinta, indahnya cinta, pucuk mawar yang punya pesona merona. Atau
justru mereka mengemas seolah semua tampak sempurna. Tanpa perlu menunjukkan
debat dan tengkar.
Namun aku bangga kita punya semua itu, sayang. Kita selalu
tertawa untuk hal-hal bodoh, kita marah pada hal-hal tak tercerna akal, kita
diam pada saat tak ingin segalanya tambah kacau.
Perjalanan ini tak mudah untukku sayang. Begitupun dengan
dirimu pastinya. Namun kita nikmati saja. Tak ada batu yang begitu saja
terletak dan terbangun menjadi pondasi. Seseorang mesti berpeluh, bersandar,
menjauh untuk melihat memastikan bangunan sudah sesuai rancangan, lalu kembali
mendekat untuk melanjutkan; membangun sebuah rumah impian. Sebuah tempat
setelah seharian lelah berkutat dengan kehidupan, sebuah tempat tujuan akhir
dan persiapan untuk memulai. Sebuah tempat yang sejauh apapun kita pergi, kita
akan selalu kembali untuk pulang.
Jika mengikuti hitungan angka, ini pagi bersejarah kita yang
ke 17, sayang. Aku masih ingin mengenalimu lebih jauh lagi, lebih baik lagi.
Karena dengan itu, akupun menjadi belajar untuk semakin mengenali diriku
sendiri.
Selamat tanggal tiga belas :)
Comments
Post a Comment