Skip to main content

Learn, not judge.

Kalo mau belajar dan belum punya duit buat ke Cina, bisa banget kok belajar dari hal-hal sederhana yang terjadi di sekeliling kita.

Contoh, ketika tahun lalu saya jatuh dari motor karena rok terselimpet di jari-jari motor. Akibatnya, tulang clavicula saya patah, harus disambung pen, muka saya sebelah kanan luka, pembuluh darah di mata kanan juga pecah, jadi merah semua mata kanan saya.
Insightnya kan intinya kalo pakai rok dan naik motor, sebaiknya lebih waspada. Itu yang ingin disampaikan sama tragedi menyakitkan tersebut. Tapi tau respon orang-orang?

Ada yang dengan tulus menyampaikan dukungan semangat supaya segera pulih dan pastinya mengingatkan supaya lain kali lebih hati.
Means a lot for me.
Tapi, ada juga yang respon 'lo pake pen? Ih cacat dong? Cakep-cakep pake pen'

Pertama, oke thanks saya dibilang cakep.
Kedua, cacat? Dan haruskah ucapan kaya gitu muncul? Kenapa ngga dia terimakasih aja karena ngga perlu ngerasain sebulan yang menyakitkan setelah dipasang pen?

Yang kaya-kaya gini kadang suka luput dari mata dan hati kita. Emang kita siapa berhak menjudge dan bikin orang lain jadi tambah sedih?

Itu juga yang saya liat dari musibah yang menimpa keluarga Ahmad Dhani. Khususnya si Dul.

Awalnya juga saya agak terpancing dengan kondisi 'dhani itu sombong. Makanya Allah ngasi teguran kaya gitu'  tapi lama-lama jadi mikir sendiri, emang kita siapa berani-beraninya nuduh Allah berkehendak demikian? Berburuk sangka sama Allah? Ih hati-hati deh.

Belum lagi komentar-komentar tentang Dulnya sendiri. Okelah dia di bawah umur untuk bisa bawa kendaraan, tapi itu yang pada-pada komentar, umur berapa pada bawa kendaraan di jalan? Anaknya pada ngga melakukan hal yang sama?
Dan perlu diingat bahwa kondisi Dul itu adalah anak dari orangtua yang bercerai lho.

Yang saya coba sampaikan disini adalah, just shut up your mouth and take a lesson from all the things happened. And be grateful.
You don't have to feel all the pain because of your broken bones, bleeding, spending lots of money, facing the truth that you have your family broken.

Operasi-operasi itu nyakitin. Belum nanti recoverynya. Belum nanti menghadapi kepolisian atau ketika Dul tau jumlah korban. Ngga usah orang-orang hinadina sumpah serapah juga udah jadi hukuman tersendiri.
Buat orang tuanya, yang jadi orang tua pasti tau. Anak demam aja kadang suka kepikiran, apalagi dengan kondisi Dul kaya gitu. Ditambah juga masih harus bertanggung jawab ke keluarga-keluarga korban. Udahlah itu yang komentar, kalian juga ngga membantu apa-apa.

Mumpung dikasih pelajaran gratis, ambil hikmahnya. Benahin diri. Jangan sibuk ngata-ngatain. Kejadian sama dirinya sendiri baru tau rasa nanti.

Comments

Popular posts from this blog

Dari Nona ke Nyonya

atau dari karyawati menjadi ibu rumah tangga. Keduanya sama-sama butuh proses, sama-sama butuh banyak belajar. Sama-sama butuh ilmu ikhlas. Pernah denger ada temen yang bilang 'pengorbanan lo buat Byan itu luar biasa' Kucuman bisa bilang alhamdulillah. Sambil senyum dikit. Walaupun ada sebagian diri yang sesak. Rasanya pengorbanan itu terkesan ada pihak lain yang merasa tersiksa (haha!) while gw sangat menikmati perjalanan ini. Let me tell you a short (not sure) story then.. Pas jaman-jaman kecil itu, keluarga gw bisa dibilang hidup berkecukupan. Dalam artian, pas mau makan, berasnya ada. Cukup. Ngga berlebih. Walaupun lauknya kadang indomie, somay abang-abang lewat, sop, atau bakso (abang-abang lewat juga). Papihe kala itu punya dompet isinya kartu nama, ktp, sama fotonya Mbak Kakung dan Mbah Putri. Jarang banget gw liat ada duit disana. Yang belakangan gw tau kalo semua gajinya ya udah dikasih ke Ibu. Plus potongan cicilan rumah. Jarak rumah ke kantor kurang le...

ini lagi kesel ceritanya.

Sepertinya memang harus diakhiri. Apa hayo? Segala sesuatu tentang masa lalu. Oke, ini kata pengantar untuk tulisan saya kali ini: Terakhir kali saya punya hubungan dengan seseorang adalah sekitar 2 taun lebih yang lalu. Di bulan Januari ini, which is sudah masuk ke 2 tahun lebih ini ya, saya udah ngga kepengaruh apa-apa lagi soal si orang itu, berikut apapun tentang hidupnya. Dan saya rasa saya udah ada di tahap itu, melupakan. eh ngga melupakan sih, lebih tepatnya merelakan dan menganggap bahwa oke, itu adalah masa lalu. Sialnya, saya hampir percaya sama diri saya sendiri kalo saya udah ngga bakalan kepengaruh apa-apa. Sampe semalem, ada sesuatu yang bikin saya tiba-tiba ngerasain sesuatu yang ngga enak banget rasanya. Gabungan antara sebel, marah, kesel, dan ya, sedikit cemburu. Saya juga heran deh. Kenapa ya saya harus masuk ke dalem kategori manusia yang susah lepas dari masa lalu. Maksutnya, ini udah lebih dari 2 taun lho cuuul. Saya ngerti banget ngga akan pernah bisa dan sayan...
 I never thought that loving someone could be this painful.  Diam ketika semestinya bisa berteriak.  Menangis dalam diam ketika semestinya bisa menggerung.  Tetap ada disana ketika semestinya bisa berpaling dan menjauh.  Bukan pisau yang melukai, justru bentakan yang meluluh lantakkan.  Memutuskan untuk tetap bertahan dan seolah tak perduli ternyata bisa sebegitu menggerus hati.  Membuat tangis tak lagi hanya berupa air mata.  Dan bodohnya adalah keinginan itu tetap ada.  Untuk diam-diam mendoakan. Menyisihkan sebagian jerih payah untuk mewujudkan suatu keinginan.  Bukankah itu yang dinamakan mencintai? Bukankah mencintai dan melihat yang dicinta bahagia adalah tujuannya?