Skip to main content

Doa di tahun ke tujuh.

Aku mengamatinya beberapa hari ini kerap agak menengadah sambil memejamkan mata di jam-jam tertentu. Kadang dahinya berkerut, kadang sambil tersenyum, atau memanyunkan bibir bawah layaknya anak kecil yang tidak dituruti keinginannya.

Tadinya aku pikir dia sudah mulai gila mengingat akhir bulan sudah semakin dekat dan persediaan tabungan sudah semakin tipis.

Jam 2 pagi aku terbangun. Aku melihatnya berkhusyuk pada doanya. Diakhiri dengan sujud yang agak lama, matanya kembali terpejam, dan bibirnya tersungging senyum.

Jam 11 siang. Aku ingin meminjam ipod sambil menunggu makan siang. Lagi-lagi ku temukan dia sedang menghadap jendela, melihat langit sejenak, sambil berkomat kamit entah apa.

Jam 9 malam. Sebagai teman satu kos yang baik, kami suka berbagi makanan. Kebetulan tadi selewat jalan pulang aku membeli sate padang.
Dia sudah di kasurnya sambil duduk, setengah badan sudah terselimuti, memandang ponselnya lalu menangkupnya di dada. Tak lupa berkomat kamit kembali.

Aku sudah puas mengamatinya dan ritual anehnya. Aku ngga rela temanku gila di usia muda. Akhirnya aku beranikan bertanya.

'Sya, gue udah ngga paham deh sama ritual lo belakangan ini. Suka tiba-tiba madep tembok trus kaya ngomong sendiri. Lo depresi? Ada masalah? Cerita dong Sya', aku menunjukkan wajah melas.

Si sableng ini malah senyum dan menjawab, 'Gue percaya Ra, yang datengnya dari Tuhan itu kalo mau diminta ya mesti dari Tuhan langsung. Jam 9 malem disini, jam 7 pagi di sana. Dia baru mulai kegiatannya. Gue doain semoga harinya berjalan dgn baik. Jam 2 pagi disini, disana jam 4 sore. Dia baru selesai kegiatannya. Gue doa semoga apa yang dia dapet dari pagi bisa terserap sempurna. Biar dia makin pinter. Jam 11 siang disini, disana jam 9 malem. Dia udah mau tidur. Gue berdoa semoga hal baik hari itu berlanjut di hari selanjutnya. '

Aku bengong.
'Siapa, Sya?', tanyaku.

Tasya hanya tersenyum. Aku lalu teringat pada seseorang yang beberapa hari lalu berpamitan. Untuk pergi ke benua seberang.

'Ya ampun, Sya. Jangan bilang ini si Dimas? Masih Sya?', aku lantas memeluknya. Pelukannya semakin erat. Aku bisa merasakan. Rindunya masih ada.

September, 2006.
'Ra, itu siapa ya? Mukanya jawa banget, suka senyum gitu, baik kayanya'

'Oh, itu Kak Dimas. 2 taun di atas kita kayanya.'

Dan aku tahu sejak itu Tasya jatuh hati pada sosok Dimas yang sederhana, pintar, dan ramah. Aku jadi saksi ketika dia berusaha mati-matian ikut seleksi masuk senat, atau ketika dia patah hati sepatah-patahnya sewaktu tau Dimas jadian dengan temannya. Tasya bodoh. Cuma bisa diam. Punya rasa tapi ngga pernah berani bilang.

Ini sudah tahun ke tujuh. Entah sudah berapa banyak doanya.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Sepotong Rasa dalam Diam #1

Aisya Soraya. Siapa yang tidak mengenal nama itu. Biasa disapa Aya. Mahasiswa tingkat 3 yang cantik, pintar, namun tetap bersahaja. Dia pernah mengikuti kontes kecantikan, dan menjadi juara 2. Pernah pula membintangi beberapa iklan dan hingga kini, masih menjadi presenter sebuah acara berpetualang ke daerah-daerah di Indonesia. Dia satu angkatan denganku. Cuma beda popularitas dan segala kelebihanya tadi. Hehe. Itu sih bukan ’cuma’ ya.

Mengawali taun 2011 dengan..

Pacar. Nggak lah bo'ong banget *garuk-garuk tembok*. Tapi ada yang lebih parah dari itu men. Apa hayo? 1. Ultimatum dari Yang Mulia Ratu Ibu, yang berbunyi, saya harus udah nikah di umur 25. 2. Si Bapak yang kurang lebih mengutarakan hal yang sama, namun plus embel-embel 'Bapak kan udah pengen nggendong cucu, Mbak" Mampus kan tuh gue. Oke, mari kita berpikiran jernih dan positif. Anggap aja itu adalah doa baik dari orang tua untuk anaknya. Cuman ketika saya teringat umur saya taun ini udah memasuki 23, jadi agak-agak dug-dug ser gimanaaaa gitu. Kalo kata temen saya, saya sudah mulai memasuki midlife crisis , yakni masa-masa saya mulai butuh hubungan dengan lawan jenis dan kebutuhan karir juga. Nahkan. Au ah.

Hai!

Hem. Tes tes *ketok ketok mic* Terlalu banyak hal terjadi selama beberapa bulan ini. Jadi cukup lama juga ngga ada waktu nulis. Ada sih, nulis report. Pft. Ini baru bulan ke 4 di 2014 tapi rasanya sudah lemayan lelah. Tapi senang. Tahun ini ngerasain tahun baruannya di Masjid Nabawi, Madinah. Such a rare chance, huh? Yes, it was a holy trip. More than that, it was a very meaningful moment to me, to my life, to my days after. Beware of what you asking for to God. He will answer those prayer in a very unpredictable ways. Very unpredictable. Fyuh. Work life? Hmm, lemayan juga. Baru dapat bonus tahunan. Bisa buat ganjel-ganjel tabungan. Love life? Please skip. Family? Still to try to get used of my dad's absence because of his duty for every 2 weeks. Health? Ehm, proudly saying that I take 2-3 times to exercise. Me anak gym bok ih waw kan yes? Friendship? One of my very bery best person got engaged last month and I feel very extremely happy. OK I was lying. She...