Skip to main content

Duapuluhempat.

Saya baru tau cara menyebut namanya dengan benar itu di tahun ke 3 perkenalan kami. Caesaria. Dibaca 'sesaria' bukan 'kaesaria'. 

Saya juga ingat ketika awal kenal, saya bahkan ngga ngeh kalau dia adalah bagian dari kelompok. Sampai pernah ketika salah satu dosen memastikan jumlah kelompok kami, dia langsung menunjuk dirinya juga sebagai bagian dari kelompok. Karena namanya belum disebutkan. 

Saya sempat sedih karena harus mengulang salah satu mata kuliah yang menurut saya bisa bikin kejang-kejang kalo ngulang sendirian. Tapi ternyata saya perlu minta maaf pas tau bahwa dia jg mengulang mata kuliah yang sama. Akhirnya kita ambil kelas yang malam, dan saya ngga perlu kejang sendirian. 


Saya sempat setres ketika ada di lingkungan baru dan bertepuk sebelah tangan karena ngga nemu org yang cuman karena tatapan mata, kita bisa ngerti kita nemu 'sesuatu'. Ketika saya atau dia sedang down, saya merasa kami bukan penghibur yang baik dengan kata-kata. Nasihat kami benar-benar basa-basi. Tetapi kami punya pengalih perhatian yang lain. Apa saja. Yang penting tidak membahas masalah. 


Saya susah banget ngubujuk dia menginap di rumah. Salah satu alesannya mungkin karena saya terlalu banyak cerita hal aneh yang terjadi di rumah saya. Tapi menginap di rumahnya? 'Welcome home, Ticul' adalah kata sambutan dari ibunya yang bikin adem. Yang bikin saya jadi pengen nambah makan aja di sana. 

Selera berbusana dia saya selalu afal. Selalu warna-warna abu-abu, biru butek, cokelat, kotak-kotak. Tapi dia punya selera yang lebih sehat dari saya untuk memadu padankan sesuatu. 


Saya ngga suka nulis tangan. Awalnya rapih lama-lama berantakan. Tapi dia? Ya begitu-begitu aja tulisannya dari awal sampe akhir nulis. Rapih dan konsisten. 


Saya dan dia masuk sebuah stationery store. Itu artinya saya perlu sesekali menjelaskan apa fungsi satu barang dan mengingatkan 'emang perlu dibeli?' Karena kalo bisa, dia borong itu seisi store. 


Saya jago makan dan tidur. Satu-satunya hal yang saya yakin bisa menandingi kejagoannya dalam hal nari. Saya ingat ketika matanya masih bengkak karena ngga berenti nangis karena ngga bisa pergi misi budaya ke luar negeri karena dia-dan kita- punya target lulus kuliah tepat waktu. Tapi saya juga ingat ketika saya dan hanum membantu dia di saat-saat terakhir mengumpulkan revisi skripsinya dan mengambilkan toganya karena di taun terakhir kami, dia akhirnya bisa pergi misi budaya juga keluar negeri. Meskipun dengan tim yang berbeda. 


Saya pencurhat yang baik. Di kala saya rasa saya udah ngga tau lagi harus ngapain, saya akan bbm dia panjang lebar numpahin unek2 dan dia akan menutupnya dgn 'what can I do to make you happy?' 




Happy birthday my very best partner in crime, Sessaaa.. Wishing you all the best in this world and life after. Waiting for another 3hours-karoke-ing, or 8days travelling somewhere.




Pondok Cabe, 28 Mei 2012

Comments

Popular posts from this blog

Dari Nona ke Nyonya

atau dari karyawati menjadi ibu rumah tangga. Keduanya sama-sama butuh proses, sama-sama butuh banyak belajar. Sama-sama butuh ilmu ikhlas. Pernah denger ada temen yang bilang 'pengorbanan lo buat Byan itu luar biasa' Kucuman bisa bilang alhamdulillah. Sambil senyum dikit. Walaupun ada sebagian diri yang sesak. Rasanya pengorbanan itu terkesan ada pihak lain yang merasa tersiksa (haha!) while gw sangat menikmati perjalanan ini. Let me tell you a short (not sure) story then.. Pas jaman-jaman kecil itu, keluarga gw bisa dibilang hidup berkecukupan. Dalam artian, pas mau makan, berasnya ada. Cukup. Ngga berlebih. Walaupun lauknya kadang indomie, somay abang-abang lewat, sop, atau bakso (abang-abang lewat juga). Papihe kala itu punya dompet isinya kartu nama, ktp, sama fotonya Mbak Kakung dan Mbah Putri. Jarang banget gw liat ada duit disana. Yang belakangan gw tau kalo semua gajinya ya udah dikasih ke Ibu. Plus potongan cicilan rumah. Jarak rumah ke kantor kurang le...

ini lagi kesel ceritanya.

Sepertinya memang harus diakhiri. Apa hayo? Segala sesuatu tentang masa lalu. Oke, ini kata pengantar untuk tulisan saya kali ini: Terakhir kali saya punya hubungan dengan seseorang adalah sekitar 2 taun lebih yang lalu. Di bulan Januari ini, which is sudah masuk ke 2 tahun lebih ini ya, saya udah ngga kepengaruh apa-apa lagi soal si orang itu, berikut apapun tentang hidupnya. Dan saya rasa saya udah ada di tahap itu, melupakan. eh ngga melupakan sih, lebih tepatnya merelakan dan menganggap bahwa oke, itu adalah masa lalu. Sialnya, saya hampir percaya sama diri saya sendiri kalo saya udah ngga bakalan kepengaruh apa-apa. Sampe semalem, ada sesuatu yang bikin saya tiba-tiba ngerasain sesuatu yang ngga enak banget rasanya. Gabungan antara sebel, marah, kesel, dan ya, sedikit cemburu. Saya juga heran deh. Kenapa ya saya harus masuk ke dalem kategori manusia yang susah lepas dari masa lalu. Maksutnya, ini udah lebih dari 2 taun lho cuuul. Saya ngerti banget ngga akan pernah bisa dan sayan...
 I never thought that loving someone could be this painful.  Diam ketika semestinya bisa berteriak.  Menangis dalam diam ketika semestinya bisa menggerung.  Tetap ada disana ketika semestinya bisa berpaling dan menjauh.  Bukan pisau yang melukai, justru bentakan yang meluluh lantakkan.  Memutuskan untuk tetap bertahan dan seolah tak perduli ternyata bisa sebegitu menggerus hati.  Membuat tangis tak lagi hanya berupa air mata.  Dan bodohnya adalah keinginan itu tetap ada.  Untuk diam-diam mendoakan. Menyisihkan sebagian jerih payah untuk mewujudkan suatu keinginan.  Bukankah itu yang dinamakan mencintai? Bukankah mencintai dan melihat yang dicinta bahagia adalah tujuannya?