Skip to main content

Dari Ibumu.

Lima menit yang lalu, ia masih merangkak kesana kemari. Bermain dengan boneka beruang besar kesayangannya. Kadang tangan kecilnya penasaran ingin memencet tungkai dispenser. Kemarin saat aku lengah, rupanya ia mencoba, dan senang. Ada air keluar dari sana. Saat aku menoleh, bajunya sudah basah. Aku ingin marah, tapi kemarahanku sirna ketika melihatnya tertawa dan bertepuk tangan.



Usianya baru genap setahun lewat beberapa hari. Belum bisa benar berjalan, namun sudah tumbuh 4 gigi yang kecil-kecil. Celotehnya juga selalu ramaikan rumah kami. Lagu kegemarannya adalah Pelangi, Naik-naik ke puncak gunung, dan lagu-lagu sholawatan. Ketika berada di gendonganku dan ingin tidur, aku pasti menyanyikannya lembut. Ia suka itu. Aku tahu dari pelukannya yang semakin erat di tanganku.


Seperti sekarang.
Setelah lelah bermain dan aku sudah kewalahan mengejarnya kesana kemari, ia merebahkan kepalanya di dadaku. Aku mengayunkan gendongan perlahan, sambil menyanyikan lagu-lagu kesukaanya. Sambil menunggu ayahnya pulang bekerja. Aku menghela nafas panjang. Dalam hatiku aku bergumam, 'Aku dan ayahmu menyayangimu karena Allah, Nak. Tak akan kubiarkan kau susah di hari depan nanti. Aku dan ayahmu akan selalu menguntai kebahagiaan untuk kau gunakan ketika bertemu dengan dunia. Meskipun kau tidak berasal dari rahimku, namun kau sama seperti saudara kandungmu kelak. Dinginnya udara pagi saat aku menemukanmu kala itu, adalah hari terakhir kau merasakan kesedihan. Ingatlah itu Nak, aku mencintaimu seperti aku mencintai nyawaku sendiri.'
Ku kecup dahinya yang mungil.
Anakku sudah pulas tertidur. Dan tersenyum.





Comments

Popular posts from this blog

Sepotong Rasa dalam Diam #1

Aisya Soraya. Siapa yang tidak mengenal nama itu. Biasa disapa Aya. Mahasiswa tingkat 3 yang cantik, pintar, namun tetap bersahaja. Dia pernah mengikuti kontes kecantikan, dan menjadi juara 2. Pernah pula membintangi beberapa iklan dan hingga kini, masih menjadi presenter sebuah acara berpetualang ke daerah-daerah di Indonesia. Dia satu angkatan denganku. Cuma beda popularitas dan segala kelebihanya tadi. Hehe. Itu sih bukan ’cuma’ ya.

Mengawali taun 2011 dengan..

Pacar. Nggak lah bo'ong banget *garuk-garuk tembok*. Tapi ada yang lebih parah dari itu men. Apa hayo? 1. Ultimatum dari Yang Mulia Ratu Ibu, yang berbunyi, saya harus udah nikah di umur 25. 2. Si Bapak yang kurang lebih mengutarakan hal yang sama, namun plus embel-embel 'Bapak kan udah pengen nggendong cucu, Mbak" Mampus kan tuh gue. Oke, mari kita berpikiran jernih dan positif. Anggap aja itu adalah doa baik dari orang tua untuk anaknya. Cuman ketika saya teringat umur saya taun ini udah memasuki 23, jadi agak-agak dug-dug ser gimanaaaa gitu. Kalo kata temen saya, saya sudah mulai memasuki midlife crisis , yakni masa-masa saya mulai butuh hubungan dengan lawan jenis dan kebutuhan karir juga. Nahkan. Au ah.

ini lagi kesel ceritanya.

Sepertinya memang harus diakhiri. Apa hayo? Segala sesuatu tentang masa lalu. Oke, ini kata pengantar untuk tulisan saya kali ini: Terakhir kali saya punya hubungan dengan seseorang adalah sekitar 2 taun lebih yang lalu. Di bulan Januari ini, which is sudah masuk ke 2 tahun lebih ini ya, saya udah ngga kepengaruh apa-apa lagi soal si orang itu, berikut apapun tentang hidupnya. Dan saya rasa saya udah ada di tahap itu, melupakan. eh ngga melupakan sih, lebih tepatnya merelakan dan menganggap bahwa oke, itu adalah masa lalu. Sialnya, saya hampir percaya sama diri saya sendiri kalo saya udah ngga bakalan kepengaruh apa-apa. Sampe semalem, ada sesuatu yang bikin saya tiba-tiba ngerasain sesuatu yang ngga enak banget rasanya. Gabungan antara sebel, marah, kesel, dan ya, sedikit cemburu. Saya juga heran deh. Kenapa ya saya harus masuk ke dalem kategori manusia yang susah lepas dari masa lalu. Maksutnya, ini udah lebih dari 2 taun lho cuuul. Saya ngerti banget ngga akan pernah bisa dan sayan...