Skip to main content
"Tak perlu alasan", ujarku ketus.
Ku bereskan tumpukan kertas di hadapanku. Ku selempangkan tas di bahu. Aku ingin segera pergi dari sini. darimu.

"Ya kamu ngga bisa dong tiba-tiba berubah begini. Ngga adil buat aku"
Itu alasanmu menahanku.
Adil katamu? Pernahkah keadilan itu mampir padaku?

Aku hanya menatapmu. Tak satupun kata terucap. Aku tak ingin menjelaskan apapun lagi. Aku hanya ingin pergi. Aku tak ingin ada pertumpahan air mata konyol di sini.

"Kamu boleh pergi asal kamu jelasin ke aku, kenapa kamu ngindarin aku akhir-akhir ini?
matamu nyalang. ada gurat kekesalan di sana. aku lihat itu. Aku selalu mengerti apa yang matamu coba katakan, tapi aku sedang tak ingin peduli.

"Aku ada janji ketemu dosen. Bisa biarin aku pergi?"

"Ngga. Kenapa jadi belibet gini sih? Aku cuma pengen tau kenapa kamu ngindarin aku 2 minggu ini.Itu aja. "
ponselmu berdering. aku bisa menebak siapa yang membuatnya berbunyi dengan menyebalkan seperti itu.

"Kenapa dimatiin?" tanyaku bingung.
"Jadi?", Kau tidak menjawab, malah balik bertanya.

Aku tarik nafas panjang. Aku menghadapmu.
"Waktu bisa menumbuhkan sesuatu. Waktu bisa mengubah segalanya. Mudah-mudahan kamu ngerti itu", aku berbalik, pergi darimu.
Menjauh.




Ini sudah lebih dari 2 minggu setelah kau kabarkan padaku kau memintanya jadi kekasihmu. Kau tak pernah tahu, aku bukan hanya sepasang telinga yang hanya bisa mendengar segala ceritamu. Aku juga bukan hanya sebuah mulut yang selalu menyemangatimu. Tetapi aku juga sahabatmu, yang punya hati untuk mencintaimu..

Comments

Popular posts from this blog

Sepotong Rasa dalam Diam #1

Aisya Soraya. Siapa yang tidak mengenal nama itu. Biasa disapa Aya. Mahasiswa tingkat 3 yang cantik, pintar, namun tetap bersahaja. Dia pernah mengikuti kontes kecantikan, dan menjadi juara 2. Pernah pula membintangi beberapa iklan dan hingga kini, masih menjadi presenter sebuah acara berpetualang ke daerah-daerah di Indonesia. Dia satu angkatan denganku. Cuma beda popularitas dan segala kelebihanya tadi. Hehe. Itu sih bukan ’cuma’ ya.

Mengawali taun 2011 dengan..

Pacar. Nggak lah bo'ong banget *garuk-garuk tembok*. Tapi ada yang lebih parah dari itu men. Apa hayo? 1. Ultimatum dari Yang Mulia Ratu Ibu, yang berbunyi, saya harus udah nikah di umur 25. 2. Si Bapak yang kurang lebih mengutarakan hal yang sama, namun plus embel-embel 'Bapak kan udah pengen nggendong cucu, Mbak" Mampus kan tuh gue. Oke, mari kita berpikiran jernih dan positif. Anggap aja itu adalah doa baik dari orang tua untuk anaknya. Cuman ketika saya teringat umur saya taun ini udah memasuki 23, jadi agak-agak dug-dug ser gimanaaaa gitu. Kalo kata temen saya, saya sudah mulai memasuki midlife crisis , yakni masa-masa saya mulai butuh hubungan dengan lawan jenis dan kebutuhan karir juga. Nahkan. Au ah.

ini lagi kesel ceritanya.

Sepertinya memang harus diakhiri. Apa hayo? Segala sesuatu tentang masa lalu. Oke, ini kata pengantar untuk tulisan saya kali ini: Terakhir kali saya punya hubungan dengan seseorang adalah sekitar 2 taun lebih yang lalu. Di bulan Januari ini, which is sudah masuk ke 2 tahun lebih ini ya, saya udah ngga kepengaruh apa-apa lagi soal si orang itu, berikut apapun tentang hidupnya. Dan saya rasa saya udah ada di tahap itu, melupakan. eh ngga melupakan sih, lebih tepatnya merelakan dan menganggap bahwa oke, itu adalah masa lalu. Sialnya, saya hampir percaya sama diri saya sendiri kalo saya udah ngga bakalan kepengaruh apa-apa. Sampe semalem, ada sesuatu yang bikin saya tiba-tiba ngerasain sesuatu yang ngga enak banget rasanya. Gabungan antara sebel, marah, kesel, dan ya, sedikit cemburu. Saya juga heran deh. Kenapa ya saya harus masuk ke dalem kategori manusia yang susah lepas dari masa lalu. Maksutnya, ini udah lebih dari 2 taun lho cuuul. Saya ngerti banget ngga akan pernah bisa dan sayan...