Skip to main content

Lagi.

Hanya dengan sapaan singkat, kita mulai pembicaraan di petang itu. Di kala senja sedang asik menjingga, kitapun sedang asik tertawa.

Entah sudah berapa lama kita tidak jumpa. Terakhir kali sepertinya saat aku tidak sengaja menumpahkan kuah bakso di bahumu, lalu kau malah menenangkanku dan berkata 'tidak apa-apa, aku bawa baju ganti kok'
Dan sebagai penebus rasa bersalah, aku pasrahkan setengah mangkuk bakso padamu.

Kau tahu?
Aku masih mendengarkan lagu yang pernah kau dengarkan padaku. Ketika aku hanya menggeleng ketika kau tanya siapa yang memainkan gitar itu. Aku masih ingat ekspresi wajah menyebalkan itu, seolah selama ini aku hanya tinggal di pedalaman desa karena tidak tahu lagu itu.
Aku masih memutarnya hingga sekarang. Di pagi hari, di awalku mau memulai sesuatu, dan dikala aku merasa sedang jatuh serta perlu bangkit lagi.

Kau masih sama. Selalu memulai membuka topik pembicaraan yang tak penting, tapi tak sampai hati juga aku menyudahi. Meski aku hanya membaca huruf-huruf di layar, rasanya aku bisa membayangkan ekspresi wajahmu saat bercerita.
Semoga masih seperti itu, karena ekspresi itu yang selalu membuatku betah memandangmu, ikut tertawa saat kau tertawa, dan menghela napas dalam-dalam saat kau mengantarnya pulang. Sambil menggandeng tangannya. Pamit padaku.

Coba kuhitung.
Aku jatuh hati padamu sejak tujuh tahun yang lalu. Dan kini, aku merunduk lagi. Mencari.

Hatiku jatuh lagi.

Comments

Popular posts from this blog

ini lagi kesel ceritanya.

Sepertinya memang harus diakhiri. Apa hayo? Segala sesuatu tentang masa lalu. Oke, ini kata pengantar untuk tulisan saya kali ini: Terakhir kali saya punya hubungan dengan seseorang adalah sekitar 2 taun lebih yang lalu. Di bulan Januari ini, which is sudah masuk ke 2 tahun lebih ini ya, saya udah ngga kepengaruh apa-apa lagi soal si orang itu, berikut apapun tentang hidupnya. Dan saya rasa saya udah ada di tahap itu, melupakan. eh ngga melupakan sih, lebih tepatnya merelakan dan menganggap bahwa oke, itu adalah masa lalu. Sialnya, saya hampir percaya sama diri saya sendiri kalo saya udah ngga bakalan kepengaruh apa-apa. Sampe semalem, ada sesuatu yang bikin saya tiba-tiba ngerasain sesuatu yang ngga enak banget rasanya. Gabungan antara sebel, marah, kesel, dan ya, sedikit cemburu. Saya juga heran deh. Kenapa ya saya harus masuk ke dalem kategori manusia yang susah lepas dari masa lalu. Maksutnya, ini udah lebih dari 2 taun lho cuuul. Saya ngerti banget ngga akan pernah bisa dan sayan...
 I never thought that loving someone could be this painful.  Diam ketika semestinya bisa berteriak.  Menangis dalam diam ketika semestinya bisa menggerung.  Tetap ada disana ketika semestinya bisa berpaling dan menjauh.  Bukan pisau yang melukai, justru bentakan yang meluluh lantakkan.  Memutuskan untuk tetap bertahan dan seolah tak perduli ternyata bisa sebegitu menggerus hati.  Membuat tangis tak lagi hanya berupa air mata.  Dan bodohnya adalah keinginan itu tetap ada.  Untuk diam-diam mendoakan. Menyisihkan sebagian jerih payah untuk mewujudkan suatu keinginan.  Bukankah itu yang dinamakan mencintai? Bukankah mencintai dan melihat yang dicinta bahagia adalah tujuannya?

Mengawali taun 2011 dengan..

Pacar. Nggak lah bo'ong banget *garuk-garuk tembok*. Tapi ada yang lebih parah dari itu men. Apa hayo? 1. Ultimatum dari Yang Mulia Ratu Ibu, yang berbunyi, saya harus udah nikah di umur 25. 2. Si Bapak yang kurang lebih mengutarakan hal yang sama, namun plus embel-embel 'Bapak kan udah pengen nggendong cucu, Mbak" Mampus kan tuh gue. Oke, mari kita berpikiran jernih dan positif. Anggap aja itu adalah doa baik dari orang tua untuk anaknya. Cuman ketika saya teringat umur saya taun ini udah memasuki 23, jadi agak-agak dug-dug ser gimanaaaa gitu. Kalo kata temen saya, saya sudah mulai memasuki midlife crisis , yakni masa-masa saya mulai butuh hubungan dengan lawan jenis dan kebutuhan karir juga. Nahkan. Au ah.