Skip to main content

goresan di kala malam.

ada satu malam lagi telah datang padaku. pasti.
bagi kebanyakan mata disambut suka cita untuk terpejam. biasanya.
dan sebagian lagi tetap terjaga. sepertiku.

entah mengapa harus pada malam aku ingin bercerita.
anggap saja, karena tak ada orang yang mendengar. mungkin.
dan malam biasanya sunyi. seolah syahdu mendengarkan lontaran kata, atau gulir air mata. semoga.



"aku rindu. rindu seperti dulu. bebas. tak terkungkung pada rasa yang entah bernama apa. aku malu. malu selalu merindu. pada rasa yang sudah pasti tak pantas ada. aku resah. resah pada gelisah yang terpisah jarak. aku tak ingin menyakiti apapun. siapapun. bagaimanapun alasan egois di baliknya.termasuk diriku sendiri. sudah cukup aku berdiri di tengah pergelutan hati dan logika. Pun keduanya ada dalam diriku, tak sampai hati aku berpihak pada salah satu di antara keduanya. Dan akupun tetap gamang. Entah harus merindumu dengan cara apa, bagaimana. Inilah realita yang menyala dalam gelap. Kau, aku, kita sekalipun, telah berpijak di garis yang berbeda. meskipun hanya sejengkal. Namun rasanya, jariku terlampau jauh untuk merengkuh jarimu. Dari sejuta kata yang pernah ada, kata inilah yang paling benci aku sandingkan di antara kita. Kau, dan aku, kita berbeda. Cukup itulah yang menjagaku, agar tak lagi menguntai harap untuk melangkah. Menyebrangi jarak, meski hanya sejengkal."

Comments

Popular posts from this blog

ini lagi kesel ceritanya.

Sepertinya memang harus diakhiri. Apa hayo? Segala sesuatu tentang masa lalu. Oke, ini kata pengantar untuk tulisan saya kali ini: Terakhir kali saya punya hubungan dengan seseorang adalah sekitar 2 taun lebih yang lalu. Di bulan Januari ini, which is sudah masuk ke 2 tahun lebih ini ya, saya udah ngga kepengaruh apa-apa lagi soal si orang itu, berikut apapun tentang hidupnya. Dan saya rasa saya udah ada di tahap itu, melupakan. eh ngga melupakan sih, lebih tepatnya merelakan dan menganggap bahwa oke, itu adalah masa lalu. Sialnya, saya hampir percaya sama diri saya sendiri kalo saya udah ngga bakalan kepengaruh apa-apa. Sampe semalem, ada sesuatu yang bikin saya tiba-tiba ngerasain sesuatu yang ngga enak banget rasanya. Gabungan antara sebel, marah, kesel, dan ya, sedikit cemburu. Saya juga heran deh. Kenapa ya saya harus masuk ke dalem kategori manusia yang susah lepas dari masa lalu. Maksutnya, ini udah lebih dari 2 taun lho cuuul. Saya ngerti banget ngga akan pernah bisa dan sayan...
 I never thought that loving someone could be this painful.  Diam ketika semestinya bisa berteriak.  Menangis dalam diam ketika semestinya bisa menggerung.  Tetap ada disana ketika semestinya bisa berpaling dan menjauh.  Bukan pisau yang melukai, justru bentakan yang meluluh lantakkan.  Memutuskan untuk tetap bertahan dan seolah tak perduli ternyata bisa sebegitu menggerus hati.  Membuat tangis tak lagi hanya berupa air mata.  Dan bodohnya adalah keinginan itu tetap ada.  Untuk diam-diam mendoakan. Menyisihkan sebagian jerih payah untuk mewujudkan suatu keinginan.  Bukankah itu yang dinamakan mencintai? Bukankah mencintai dan melihat yang dicinta bahagia adalah tujuannya?

Mengawali taun 2011 dengan..

Pacar. Nggak lah bo'ong banget *garuk-garuk tembok*. Tapi ada yang lebih parah dari itu men. Apa hayo? 1. Ultimatum dari Yang Mulia Ratu Ibu, yang berbunyi, saya harus udah nikah di umur 25. 2. Si Bapak yang kurang lebih mengutarakan hal yang sama, namun plus embel-embel 'Bapak kan udah pengen nggendong cucu, Mbak" Mampus kan tuh gue. Oke, mari kita berpikiran jernih dan positif. Anggap aja itu adalah doa baik dari orang tua untuk anaknya. Cuman ketika saya teringat umur saya taun ini udah memasuki 23, jadi agak-agak dug-dug ser gimanaaaa gitu. Kalo kata temen saya, saya sudah mulai memasuki midlife crisis , yakni masa-masa saya mulai butuh hubungan dengan lawan jenis dan kebutuhan karir juga. Nahkan. Au ah.