Skip to main content

Mati rasaku padamu.

"Mungkin ini rasanya. Ketika semua rasa yang terkumpul sudah tak lagi bernama. Tak jelas, mana sayang, mana rindu, mana benci, mana geram. Kalau dapat ku ubah dalam bentuk nyata, rasanya seperti aku menggenggam setumpuk kertas tebal dan membebani tanganku. Ingin rasanya ku hampirimu dan melemparkan dengan keras kertas-kertas itu ke wajahmu. Ya, tepat di wajahmu. Aku juga tak pernah menyangka bahwa semua yang pernah ada justru menjadi terbalik. Semua kalimat manismu serasa gelombang laut yang mengaduk-aduk isi perutku. Aku jengah. Hanya mampu tersenyum kecil dan menggeleng. Merasa bodoh pernah melambung hanya karena sebait dua bait janji yang kau kirimkan. Dan merasa bodoh, karena pernah percaya.

Kau pernah celupkan tanganmu kedalam air yang sangat dingin beberapa saat? Kebas rasanya tanganmu nanti. Itu juga yang aku rasakan saat ini. Padamu. Pada kebahagiaanmu. Pada gulir waktu yang berjalan lambat. Kadang ku rasa marah, namun lebih dari itu, aku sangat kehilangan. Peduli setan pada apapun pilihanmu. Asal kau tahu, pilihanmu untuk mematahkan janji, bersikap tak mengenal, dan caramu meraih bahagia adalah caramu yang paling ampuh untuk membalikkan semua yang pernah ada. Kau berbeda. Tak lagi ku kenali.

Kau tahu hal apa yang paling menyiksa?
Bukan dengan melihatmu menggandeng tangannya, bukan pula mendengar nyanyianmu untuknya. Sederhana. Ketika aku ingin menangis, tapi tak ada lagi air mata yang tersisa. Bahkan untuk cara paling mudah dan murah untuk mengeluarkan perih dan luka, aku tak lagi bisa.
Mati rasaku padamu."

Comments

Popular posts from this blog

ini lagi kesel ceritanya.

Sepertinya memang harus diakhiri. Apa hayo? Segala sesuatu tentang masa lalu. Oke, ini kata pengantar untuk tulisan saya kali ini: Terakhir kali saya punya hubungan dengan seseorang adalah sekitar 2 taun lebih yang lalu. Di bulan Januari ini, which is sudah masuk ke 2 tahun lebih ini ya, saya udah ngga kepengaruh apa-apa lagi soal si orang itu, berikut apapun tentang hidupnya. Dan saya rasa saya udah ada di tahap itu, melupakan. eh ngga melupakan sih, lebih tepatnya merelakan dan menganggap bahwa oke, itu adalah masa lalu. Sialnya, saya hampir percaya sama diri saya sendiri kalo saya udah ngga bakalan kepengaruh apa-apa. Sampe semalem, ada sesuatu yang bikin saya tiba-tiba ngerasain sesuatu yang ngga enak banget rasanya. Gabungan antara sebel, marah, kesel, dan ya, sedikit cemburu. Saya juga heran deh. Kenapa ya saya harus masuk ke dalem kategori manusia yang susah lepas dari masa lalu. Maksutnya, ini udah lebih dari 2 taun lho cuuul. Saya ngerti banget ngga akan pernah bisa dan sayan...
 I never thought that loving someone could be this painful.  Diam ketika semestinya bisa berteriak.  Menangis dalam diam ketika semestinya bisa menggerung.  Tetap ada disana ketika semestinya bisa berpaling dan menjauh.  Bukan pisau yang melukai, justru bentakan yang meluluh lantakkan.  Memutuskan untuk tetap bertahan dan seolah tak perduli ternyata bisa sebegitu menggerus hati.  Membuat tangis tak lagi hanya berupa air mata.  Dan bodohnya adalah keinginan itu tetap ada.  Untuk diam-diam mendoakan. Menyisihkan sebagian jerih payah untuk mewujudkan suatu keinginan.  Bukankah itu yang dinamakan mencintai? Bukankah mencintai dan melihat yang dicinta bahagia adalah tujuannya?

Mengawali taun 2011 dengan..

Pacar. Nggak lah bo'ong banget *garuk-garuk tembok*. Tapi ada yang lebih parah dari itu men. Apa hayo? 1. Ultimatum dari Yang Mulia Ratu Ibu, yang berbunyi, saya harus udah nikah di umur 25. 2. Si Bapak yang kurang lebih mengutarakan hal yang sama, namun plus embel-embel 'Bapak kan udah pengen nggendong cucu, Mbak" Mampus kan tuh gue. Oke, mari kita berpikiran jernih dan positif. Anggap aja itu adalah doa baik dari orang tua untuk anaknya. Cuman ketika saya teringat umur saya taun ini udah memasuki 23, jadi agak-agak dug-dug ser gimanaaaa gitu. Kalo kata temen saya, saya sudah mulai memasuki midlife crisis , yakni masa-masa saya mulai butuh hubungan dengan lawan jenis dan kebutuhan karir juga. Nahkan. Au ah.