Skip to main content

1652 hari.

Hamparan buih menghiasi birunya laut di depanku. Di depan kau.
Suara debur ombak dan sahut-sahutan burung yang menari-nari di lazuardi yang memerah adalah musik kita senja ini.
Ah, tak lupa debaran jantung kita masing-masing.
Setidaknya jantungku.

Mungkin aku telah lupa huruf-huruf abjad yang pernah kupelajari di bangku sekolah. Aku seakan beku. Tak ingin bersuara apapun. Tak ingin bergerak.

"Kenapa sih ngga pernah bilang?". akhirnya kau bersuara. Namun sayangnya, bagiku itu adalah pertanyaan tersulit setelah soal-soal ujian masuk UI.
aku terdiam sejenak. tercekat.
"Toh ngga ngerubah apapun kan?", dari jutaan alternatif jawaban, kalimat itulah yang akhirnya terlontar.

Aku sebenarnya tak siap ada di sini. denganmu. membahas hal yang ku simpan rapi selama 1652 hari belakangan.

"Sok tau.", kau tertawa kecil. singkat. seolah mengejek. Yang bagiku, terasa seperti sengatan listrik. Membuatku terkejut. Sangat terkejut. Tak Mengerti.
Leherku otomatis menggerakkan wajahku menghadapmu. Mencari makna kalimatmu barusan.

"Inget ngga pas gw bilang, gw juga udah biasa aja nih ketemu asri, setelah lo bilang lo mulai biasa ketemu fandi?"
aku mengangguk.
"Gw rasa, saat itu ada yang berubah di hati gw.."
kau diam sesaat. menghela nafas.

"I love you too. maaf ya gw lemot. Baru nyadarnya lama.", kau menengok. Tersenyum manis padaku.





Bagiku, langit tak pernah seindah sore itu.
1652 hari yang lalu, aku jatuh cinta padamu.
Dan sore itu,
aku jatuh cinta pada petikan gitarmu,
pada langit oranye,
pada tepi pantai,
pada tempat kita duduk.
dan pastinya,
(masih) padamu.

Comments

Popular posts from this blog

ini lagi kesel ceritanya.

Sepertinya memang harus diakhiri. Apa hayo? Segala sesuatu tentang masa lalu. Oke, ini kata pengantar untuk tulisan saya kali ini: Terakhir kali saya punya hubungan dengan seseorang adalah sekitar 2 taun lebih yang lalu. Di bulan Januari ini, which is sudah masuk ke 2 tahun lebih ini ya, saya udah ngga kepengaruh apa-apa lagi soal si orang itu, berikut apapun tentang hidupnya. Dan saya rasa saya udah ada di tahap itu, melupakan. eh ngga melupakan sih, lebih tepatnya merelakan dan menganggap bahwa oke, itu adalah masa lalu. Sialnya, saya hampir percaya sama diri saya sendiri kalo saya udah ngga bakalan kepengaruh apa-apa. Sampe semalem, ada sesuatu yang bikin saya tiba-tiba ngerasain sesuatu yang ngga enak banget rasanya. Gabungan antara sebel, marah, kesel, dan ya, sedikit cemburu. Saya juga heran deh. Kenapa ya saya harus masuk ke dalem kategori manusia yang susah lepas dari masa lalu. Maksutnya, ini udah lebih dari 2 taun lho cuuul. Saya ngerti banget ngga akan pernah bisa dan sayan...
 I never thought that loving someone could be this painful.  Diam ketika semestinya bisa berteriak.  Menangis dalam diam ketika semestinya bisa menggerung.  Tetap ada disana ketika semestinya bisa berpaling dan menjauh.  Bukan pisau yang melukai, justru bentakan yang meluluh lantakkan.  Memutuskan untuk tetap bertahan dan seolah tak perduli ternyata bisa sebegitu menggerus hati.  Membuat tangis tak lagi hanya berupa air mata.  Dan bodohnya adalah keinginan itu tetap ada.  Untuk diam-diam mendoakan. Menyisihkan sebagian jerih payah untuk mewujudkan suatu keinginan.  Bukankah itu yang dinamakan mencintai? Bukankah mencintai dan melihat yang dicinta bahagia adalah tujuannya?

Mengawali taun 2011 dengan..

Pacar. Nggak lah bo'ong banget *garuk-garuk tembok*. Tapi ada yang lebih parah dari itu men. Apa hayo? 1. Ultimatum dari Yang Mulia Ratu Ibu, yang berbunyi, saya harus udah nikah di umur 25. 2. Si Bapak yang kurang lebih mengutarakan hal yang sama, namun plus embel-embel 'Bapak kan udah pengen nggendong cucu, Mbak" Mampus kan tuh gue. Oke, mari kita berpikiran jernih dan positif. Anggap aja itu adalah doa baik dari orang tua untuk anaknya. Cuman ketika saya teringat umur saya taun ini udah memasuki 23, jadi agak-agak dug-dug ser gimanaaaa gitu. Kalo kata temen saya, saya sudah mulai memasuki midlife crisis , yakni masa-masa saya mulai butuh hubungan dengan lawan jenis dan kebutuhan karir juga. Nahkan. Au ah.