I never thought that loving someone could be this painful. Diam ketika semestinya bisa berteriak. Menangis dalam diam ketika semestinya bisa menggerung. Tetap ada disana ketika semestinya bisa berpaling dan menjauh. Bukan pisau yang melukai, justru bentakan yang meluluh lantakkan. Memutuskan untuk tetap bertahan dan seolah tak perduli ternyata bisa sebegitu menggerus hati. Membuat tangis tak lagi hanya berupa air mata. Dan bodohnya adalah keinginan itu tetap ada. Untuk diam-diam mendoakan. Menyisihkan sebagian jerih payah untuk mewujudkan suatu keinginan. Bukankah itu yang dinamakan mencintai? Bukankah mencintai dan melihat yang dicinta bahagia adalah tujuannya?
Untuk kesekian kali, kakiku menjejak di dua lingkaran. Setengah duniaku runtuh, setengahnya lagi tetap merengkuh. Menarik jiwaku kembali menjejak bumi. Karena ada Byantara. Segores rasa bersalah bolak balik menorehkan rasa. Apakah ini jawaban atas ketidakyakinanku. Tapi mengapa rasa-rasanya terlalu nyaring jawabannya. Di kala diri merasa 'oh mungkin sudah saatnya' dan 'apakah aku mampu?' Tuhan punya caraNya sendiri untuk menjawab. Lagi-lagi hatiku terbelah. Sedihku terpecah. Setengahnya tercampur kelegaan. Namun ada setitik pertanyaan. Apakah sungguh-sungguh aku dianggap belum mampu? Pundakku memang ada banyak yang bertumpu. Apakah karena itu juga Tuhan berikan jawaban ini? Tuntun aku, Tuhan. Jika memang harus menangis, ijinkan, lapangkan. Jika memang sudah ada cerita yang lebih indah di depan sana, kuatkan.